Selasa, 12 Oktober 2010

“Being good is stupid, being smart is heartless”


Percakapan di antara kubikel kamar mandi wanita suatu malam, antara aku dan si ibu guru yang nampaknya agak bijaksana:
Ibu : kamu jalan sama mas gorilla ya?
Aku : ah, engga bu…
Ibu : bukan engga, tapi belum kali…
Aku : yah, lebih tepatnya sih bukan ‘belum’, tapi ‘pernah’ bu..
Ibu : oh ya? Terus?
Aku : ngga berhasil..
Ibu : aku punya pertanyaan yang sering aku tanyakan ke orang-orang, ‘apa sih tujuannya pacaran?’
Aku : kalau ibu tanya sama aku yang masih ABG, jawabanku adalah ‘buat gaya-gayaan. Biar orang tau, jelek-jelek gini, masih ada yang mau sama aku^^
Ibu : siapa bilang kamu jelek? Kamu cantik lho. Hanya saja kamu keliatan stress..
Aku : (mesam-mesem ga jelas, ga berani merasa ge-er…)
Ketika aku bilang, ‘jelek-jelek gini masih ada yang mau’, aku ga hanya membicarakan tampang, tapi juga kepribadianku. Aku yang pemarah, penakut, plin-plan, lugu-menuju-bego, dan ga sabaran, jelas khawatir… seseorang dengan inner beauty minimalis-nyaris-ga ada seperti aku ini, jangan-jangan bakalan ga laku, jadi lajang sampai rambut memutih dan punggung bongkok.
Katakanlah aku ini smart, ketika aku menjadi seseorang dengan kepribadian smart, biasanya aku cenderung dingin hati, agak kejam, penuh dendam dan apatis dengan perhatian dari orang-orang di sekitarku.
Katakanlah aku ini baik, ketika aku memilih untuk menjadi seseorang yang murah senyum, pengertian dan bersikap manis pada keluarga dan teman, aku cenderung plin-plan, pinpinbo, camen, lelet, lemot.


Mungkin memang harus demikian, pilih jadi orang hebat atau jadi orang baik yang disukai semua orang.
Apa ga bisa yah being smart sekaligus menjadi seorang yang hangat dan menyenangkan?